Tak Mau Suami Pergi? Jangan Lakukan Ini!
Anda pasti kesal bila ada orang yang berkali-kali mengingatkan soal tugas Anda. Jadi, mengapa kita, para istri, sering bersikap begitu kepada suami? Yang paling penting, bagaimana caranya agar kita berhenti merongrong suami?
Bukan karena cinta Kenapa para istri sering merongrong suami? Umumnya, mereka melakukan hal itu sebagai bentuk perhatian. Psikolog Molly Barrow, PhD mengatakan, cara menyayangi seperti itu agak menyesatkan.
Anda pasti kesal bila ada orang yang berkali-kali mengingatkan soal tugas Anda. Jadi, mengapa kita, para istri, sering bersikap begitu kepada suami? Yang paling penting, bagaimana caranya agar kita berhenti merongrong suami?
Bukan karena cinta Kenapa para istri sering merongrong suami? Umumnya, mereka melakukan hal itu sebagai bentuk perhatian. Psikolog Molly Barrow, PhD mengatakan, cara menyayangi seperti itu agak menyesatkan.
Menurut Barrow, merongrong bukanlah bentuk rasa sayang atau cinta. Suami justru akan merasa Anda tidak memercayai kemampuan dan tanggung jawabnya. Selain itu, merongrong juga dapat menimbulkan situasi yang tidak menyenangkan. Rongrongan Anda dapat menimbulkan situasi yang tidak menyenangkan. Rongrongan Anda dapat menjadi teror bagi suami dan lama-kelamaan suami tidak betah di rumah. Kemungkinan lain, suami akan marah, benci, dan merasa dikekang.
Macam-macam rongrongan Barrow menjelaskan dengan mengatakan, “Kan saya sudah bilang berkali-kali,” untuk mengingatkan tanggung jawab suami, para istri berarti membuat suami mereka melakukan tanggung jawab dengan terpaksa. Bahkan, di beberapa kesempatan, rongrongan itu membuat suami sengaja melalaikan tugas atau teguran istri. Ingatkan suami baik-baik dan cukup sekali saja. Mengingatkan sesuatu berkali-kali dengan cerewet akan menimbulkan banyak masalah, termasuk pertengkaran.
Barrow menjelaskan bentuk lain rongrongan atau sikap cerewet, yaitu menjadikan diri sendiri sebagai pihak yang patut ditiru. “Kayak Mama dong, tidak pernah lupa bayar listrik,” salah satu contohnya. Perilaku merongrong seperti itu sering ditemukan pada pasangan yang awalnya merasa memiliki banyak kesamaan, tapi kemudian mulai menemukan perbedaan. Mereka sering kali berusaha saling merongrong agar pasangan mengikuti cara mereka masing-masing. Semua pihak merasa dirinya paling benar.
Tingkatan rongrongan yang paling parah, menurut Barrow, adalah rongrongan agresif. Sang istri terus-menerus mengkritik, merongrong, dan mencereweti suami sehingga mereka frustrasi dan marah. Sang istri tidak pernah merasa puas pada pasangannya. Mereka bahkan sudah tidak memercayainya lagi sebagai kepala keluarga. Mereka merasa merekalah yang lebih pantas mengendalikan biduk rumah tangga. Yang sebenarnya terjadi adalah sang istri kecewa kepada suami dan menginginkan pasangannya merasakan kekecewaannya itu.
Barrow mengingatkan, keberhasilan akibat rongrongan hanya bersifat sementara. Kalaupun Anda pernah berhasil, jangan pernah ulangi cara itu. Anda tidak bisa mengubah sifat lalai sang suami secara permanen dengan cara merongrongnya.
Yang tak kalah penting, jangan selalu menuntut dan menyalahkan suami. Sesekali, istri perlu memuji keberhasilan yang ia lakukan, misalnya mengatakan, “Kita tidak pernah kena denda karena Bapak disiplin bayar tagihan.”
Berhenti merongrong Memang tak selamanya perilaku mengingatkan itu dikategorikan sebagai tindakan merongrong. Ada kalanya Anda harus mengingatkan lebih dari sekali, terutama untuk hal yang penting dan mendesak. Tapi, mengingatkan tidak selalu dengan lisan, bukan? Anda bisa mengingatkan dengan cara lain, membuat catatan kecil, misalnya. Tentu kalimat yang dituliskan di kertas itu tidak dibumbui dengan kalimat-kalimat “teror” atau penuh ancaman seperti “Awas kalau lupa!” dan kalimat sejenisnya yang menggambarkan ketidakpercayaan kita kepadanya.
Bagaimana cara agar kita berhenti dari kebiasaan merongrong? Tentu bukan dengan membiarkan perilaku suami yang ceroboh. Apalagi sampai enggan mengingatkan hanya karena takut dianggap cerewet. Terlebih, Anda justru melakukan apa yang sudah jadi bagian dari tanggung jawabnya itu. Barrow sangat tidak menganjurkan cara-cara tadi. Yang perlu Anda sadari, meminta Anda berhenti cerewet bukan berarti suami meminta Anda tidak perhatian lagi padanya. Suami hanya meminta Anda untuk menurunkan kadar kendali Anda yang sudah berlebihan.
Ubahlah sifat cerewet Anda dan jadilah orang yang memiliki rasa empati. Jangan pernah malu dan jangan pula menyalahkan suami semena-mena. Ubah cara Anda dari “menyalahkan dan menyudutkan” dengan “memberi tahu konsekuensi yang mungkin timbul dari kelalaian tadi”. Jangan mengatakan, “Bapak males banget sih bayar listrik”. Anda lebih baik mengatakan, “Kalau sampai tanggal 20 listrik belum dibayar, aliran ke rumah kita akan dipadamkan, Pak.” Tentu Anda mengatakan itu dengan nada bicara yang normal dan bukan menyindir.
Barrow menjelaskan, suami merasa terganggu dengan rongrongan Anda bukan karena “apa” yang Anda ingatkan, tapi lebih kepada “cara” Anda mengingatkannya. Barrow mencontohkan cara lain yang mungkin berhasil Anda terapkan pada suami yang sering lalai membayar tagihan listrik, yaitu “Nggak perlu diingetin, Ibu yakin Bapak pasti sudah bayar listrik”. Meski pada saat itu mungkin saja suami lupa membayar listrik, pasti dia akan segera menunaikan kewajibannya untuk membuktikan rasa tanggung jawabnya tanpa merasa diteror.
Usaha ini tentu tidak akan berhasil dalam semalam. Anda butuh waktu dan tekad kuat untuk berubah. Kuncinya, jika Anda tak ingin dicereweti, berhentilah mencereweti orang lain dari sekarang.