Apa yang bisa disebut kebahagiaan sesungguhnya adalah kebahagiaan yang penuh dengan ketergantungan. Kebahagiaan muncul karena ada sesuatu yang menyebabkan kebahagiaan itu muncul. Oleh karena itu, kebahagiaan tergantung pada apa yang menyebabkan munculnya kebahagiaan. Misalnya, saya bahagia karena saya mempunyai mobil yang baik, kebahagiaan saya tergantung pada mobil; saya bahagia karena anak-anak saya tidak membuat persoalan, tidak nakal, kebahagiaan tergantung pada anak-anak; saya bahagia karena bisa mempunyai pekerjaan yang sesuai, kebahagiaan tergantung pada pekerjaan.
Akan tetapi, aoabila yang menjadi gantungan kebahagiaan itu merosot, lenyaplah kebahagiaan itu, kebahagiaan itu ikut berubah juga. Manusia mengatakan perubahan ini sebagai bencana, sebagai musibah, sebagai kegagalan, sebagai kekecewaan. Musibah, bencana, kegagalan, kekecewaan ini adalah konsep. Konsep itulah yang membuat kita tidak berpikir positif, “Ah, saya gagal. Ah, saya sial. Bencana sudah terjadi, bahaya sudah terjadi.”
Tetapi, kalau kita melihat semua yang terjadi itu sebagai suatu proses, maka kita akan melihat proses itu sebagai sesuatu yang sangat wajar. Misalnya satu saat anak kita menjadi nakal. “Saya tidak menduga dia akan berbuat senekat itu, mengapa dia bisa berbuat seperti itu?” Inilah proses. Sebagai orangtua, kita memberikan pendidikan dengan sebaik-baiknya, menjaga dengan sebaik-baiknya, tetapi akhirnya dia menjadi seperti ini. Ini adalah proses. Kalau kita menganggap perubahan itu sebagai kegagalan, maka timbulah penderitaan. Kalau kita menganggap perubahan itu sebagai proses, maka kita akan melihat kenyataan hidup ini.
Misalnya saya mempunyai benda yang sangat berharga. Suatu saat benda ini jatuh dan kemudian hancur. Kalau saya menganggap kejadian ini sebagai kerugian bagi saya, sial, bencana, musibah, maka timbulah duka. Itu berpikir yang tidak positif. Tetapi, kalau saya melihat bahwa apa yang hancur itu sebagai proses yang wajar, yang sangat wajar dari segala sesuatu, maka tidak akan timbul kekecewaan. Di situ kita akan melihat kebenaran dalam kehidupan sehari-hari.
Cobalah kita melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Tidak dikotori dengan memberikan konsep yang bermacam-macam pada kejadian-kejadian di sekitar kita, yang akhirnya akan membuat kita mempunyai tanggapan yang sangat berbeda dibandingkan bila kita mampu melihat fakta kehidupan sebagaimana adanya.
Suatu saat misalnya kita mempunyai mobil. Kemudian datang berita bahwa mobil masuk ke jurang. Kalau kita menanggapi dengan berpikir, “Ah, ini bencana yang besar, ini kerugian yang sangat besar, sial, nasib jelek, bintang suram,” maka cara berpikir yang negatif seperti itu akan membuat kita menjadi negatif. Berpikirlah positif, kita akan menjadi seperti apa yang kita pikirkan.
Segala sesuatu tidak kekal. Inilah sifat yang wajar dari segala sesuatu di alam semesta ini. Kalau kita melihat kejadian itu sebagai proses yang wajar; kalau kita melihat perubahan-perubahan itu sebagai sifat yang wajar dari segala sesuatu, maka tidak akan timbul kekecewaan di dalam pikiran kita.